Baca Juga

Welcome to Let Us Study.blogspot.com
================================


Sabtu, 21 Mei 2011

Sejarah upacara tahlil di Indonesia

Sebelum agama Hindu, Budha dan Islam masuk ke Indonesia, kepercayaan yang dianut oleh bangsa Indonesia antara lain adalah paham animisme. Menurut paham ini, ruh dari orang-orang yang sudah mati itu sangat menentukan bagi kebahagiaan dan kecelakaan orang-orang yang masih hidup di dunia ini. Disamping itu, bangsa-bangsa yang menganut paham animisme ini juga berkeyakinan bahwa ruh dari orang yang sedang mengalami kematian itu tidak senang untuk meninggalkan alam dunia ini sendirian tanpa teman, dan ingin mengajak anggota keluarganya yang lain. 
Untuk itu, agar anggota keluarga yang mati itu tidak mengajak anggota keluarga yang lain, maka anggota keluarga yang ditinggal mati itu melakukan hal-hal yang antara lain sebagai berikut: 
  • Menyembelih binatang ternak seperti: kerbau, sapi, kambing, babi, atau ayam milik si mayit, agar nyawa dari binatang tersebut menemani ruh si mayit agar tidak me-ngajak anggota keluarganya yang masih hidup; dan memberikan atau menyediakan sesaji di tempat tertentu untuk ruh si mayit, agar ruh si mayit itu tidak marah kepada anggota keluarganya.
  • Setelah tiga hari dari kematian, yaitu saat mayit yang sudah di tanam dalam kubur mulai membengkak, di tempat tidur orang yang mati bagi orang Jawa dan di atas buffet yang telah dipasang foto dari orang yang mati bagi orang Cina, diberikan se-saji agar ruh dari orang yang mati tidak marah. Demikian pula pada hari ketujuh, ke empat puluh, keseratus, satu tahun, dua tahun dan keseribu dari hari kematiannya.
  • Bagi orang Cina, anggota keluarga yang mati itu diinapkan di rumah duka beberapa hari lamanya, dan selama itu papan nama dari rumahnya disilang dengan kertas hitam atau lainnya untuk mengenalkan kepada ruh si mayit bahwa rumahnya adalah yang papan namanya diberi silang. Dan setelah mayit dikubur, maka tanda silang tersebut di buang, dengan maksud agar apabila ruh si mayit tersebut pulang ke rumahnya, ruh itu tersesat tidak dapat masuk ke dalam rumahnya, sehingga tidak dapat mengganggu anggota keluarganya.
  • Bagi orang Jawa ada yang menyebarkan beras kuning dan uang logam di depan mayit sewaktu mayit di bawa ke pekuburan dengan maksud untuk memberitahukan kepada si mayit bahwa jalannya dari rumah sampai ke pekuburan adalah yang ada beras kuning dan uang logamnya. Sehingga jika ruh si mayit ingin pulang ke rumah untuk mengganggu anggota keluarganya dia tersesat, sebab beras kuning dan uang logam di jalan yang dilaluinya sudah tidak ada lagi karena beras kuningnya sudah dimakan oleh ayam atau burung, sedang uangnya sudah diambil oleh anak-anak. Ada pula yang mengeluarkan jenazah dari rumah tidak boleh melalui pintu rumah, tetapi harus dibobolkan pagar rumah yang segera ditutup kembali setelah jenazah dibawa ke kubur dan lainnya lagi dengan maksud agar ruh si mayit itu tidak dapat kembali lagi ke rumahnya.
Pada waktu agama Hindu dan agama Budha masuk di Indonesia, kedua agama ini tidak dapat merubah tradisi yang telah dilakukan oleh bangsa Indonesia yang berpaham animisme tersebut, sehingga tradisi tersebut berlangsung terus sampai saat agama Islam masuk ke Indonesia dibawa oleh para penganjur Islam yang kemudian terkenal dengan nama Wali Songo. 
Pada saat Wali Songo datang, tradisi bangsa Indonesia yang telah berurat berakar selama ratusan dan bahkan mungkin ribuan tahun lamanya, tidak diberantas, tetapi hanya diarahkan dan dibimbing sedemikian rupa, sehingga tidak bertentangan dengan pokok-pokok ajaran Islam. 
[IMG]file:///C:/Users/DELAVE%7E1/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.gif[/IMG]Disusun oleh:
Drs. KH. Achmad Masduqi 

Prof. Dr. Slamet Muljana dalam bukunya Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa Dan Timbulnya Negara-Negara Islam Di
Nusantara menguraikannya sebagai berikut :
“Bertalian dengan pemujaan arwah leluhur itu, perlu disinggung disini pesta srada pada tahun Saka 1284 atau
tahun Masehi 1362, untuk memperingati wafat Rajapatni yang diselenggarakan oleh prabu Hayam Wuruk secara besar-
besaran. Pesta srada itu diuraikan dalam Nagarakretagama secara panjang lebar dari pupuh 63 sampai 67......
Bagaimanapun, pesta srada bertalian erat dengan pemujaan arwah Rajapatni oleh Prabu Hayam Wuruk."
Setelah agama Islam masuk di wilayah Majapahit, pesta srada sebagai peringatan kepada arwah para leluhur masih
tetap dirayakan. Pesta srada itu lalu disebut dalam bahasa Jawa “nyadran”. Pesta itu diadakan di kuburan
para leluhur dalam bulan arwah atau Ruwah, yakni bulan Sya’ban, mengadapi bulan puasa atau Ramadhan.
Orang membawa makanan ke kuburan untuk berpesta demi peringatan atau pemujaan arwah para leluhur. Di samping
itu, dilakukan penyekaran, artinya mengirim bunga kepada arwah para leluhur. Bunga kantil, telasih, kenanga, melur,
dan melati diletakkan di atas nisan leluhur, disertai pembakaran kemenyan dan doa. Jelaslah bahwa
“nyadran” adalah sama dengan srada pada zaman Majapahit. Pemujaan arwah para leluhur dalam bentuk
selamatan dilakukan beberapa kali sesudah seseorang meninggal, yakni pada saat orang meninggal, tiga hari
kemudian, 7 hari kemudian, 40 hari kemudian, 100 hari kemudian, 1 tahun kemudian, 2 tahun kemudian, dan 1000 hari
kemudian. Selamatan, sebagai peringatan kepada arwah orang meninggal yang pada hakikatnya adalah pemujaan
arwah leluhur, dilakukan oleh orang Jawa yang sudah masuk Islam maupun yang belum”.
Mark R. Woodward mengatakan : “Ritus-ritus kematian Jawa tradisional mirip dengan yang berlaku di banyak
masyarakat Islam lain. Ritus itu terdiri atas upacara slametan yang diadakan pada hari pemakaman, pada hari ketiga,
ketujuh, keempat puluh, dan keseratus hari sesudah kematian, peringatan wafat pertama dan kedua, dan seribu hari
sesudah kematian. Juga telah umum menyewa santri untuk membaca Al Qur’an tujuh hari berturut-turut
menyusul pemakaman itu. Menurut banyak informan, sampai hari keseribu itu jiwa akan menyempurnakan
perjalanannya melalui tujuh sorga dan mencapai kesatuan dengan Tuhan. Yang lain berpendapat bahwa baru pada
akhir hari yang keseribu ruh itu tiba pada tempat peristirahatannya yang terakhir, di manapun tempat itu mungkin
berada....Kebiasaan-kebiasaan yang sama bisa dijumpai di Mesir dan Asia Selatan. Di seluruh dunia Islam, empat puluh
hari pertama hari kematian dianggap sebagai waktu berkabung. Selama periode ini, para qari disewa untuk membaca Al
Qur’an dan berdoa untuk orang yang meninggal itu...”.

Namun tahlilan juga mempunyai makna lain, dimana tahlilan bukan hanya diartikan sebagai bacaan kalimat syahadat
belaka seperti pada makna diatas tadi, akan tetapi tahlilan diartikan sebagai suatu bentuk ritual keagamaan dalam
rangka mengirim doa, memohonkan ampunan kepada Allah, dan memohonkan syafa’at kepada baginda
Muhammad SAW untuk para ruh, baik itu orang tua kita sendiri, anak, kerabat, kawan, dan guru, serta kaum muslim-
muslimat yang telah wafat.
Tahlilan dilakukan diberbagai acara. Seperti selamatan kematian (hari pertama sampai hari ke tujuh, hari ke lima belas,
empat puluh hari, seratus hari, dan satu tahun yang dikenal dengan nama haul), ziarah ke kubur, pembukaan dari suatu
acara, dan berbagai macam acara lainnya. Bahkan saat ulang tahun atau tasyakuran menyambut tahun baru pun
tahlilan juga diselenggarakan.
Umumnya, tahlilan dibuka dengan pembacaan istighfar, lalu pembacaan surat Al Fatihah yang dihadiahkan kepada Nabi
Muhammad, keluarga dan sahabat beliau, para guru, para almarhum-almarhumah dari si shahibul walimah, dan untuk
seluruh kaum muslim-muslimat. Kemudian dilanjutkan dengan pembacaan surat Yaasin, Al Ikhlash, Al
Mu’awwidzatain, awal dan akhir surat Al Baqarah. Setelah itu pembacaan kalimat tahlil (laa ilaaha illallaahu),
kalimat tasbih (Subhaanallaahi wa bihamdihi), dan terakhir pembacaan shalawat kepada baginda Nabi SAW kemudian
ditutup dengan pembacaan do’a. Di beberapa tempat, acara tahlilan ini juga diisi dengan pembacaan riwayat
Nabi SAW, seperti Barzanzi dan Diba’i. Sebelum acara tahlilan ditutup biasanya juga diisi terlebih dahulu dengan
pemberian tausyiah atau mau’idzatul hasanah, nasehat dan wejangan dari seorang atau beberapa ulama untuk
keluarga shahibul walimah maupun kepada jama’ah yang hadir. Biasanya tema besarnya adalah menyangkut
persoalan kematian. Apabila acara tahlilan ini diselenggarakan atas permintaan seseorang, maka saat seluruh rangkaian
acara ini selelai, sebagai ungkapan terima kasih dari shahibul walimah kepada para jama’ah yang telah hadir,
biasanya diberikan berkat, yakni semacam oleh-oleh buat jama’ah. Ada yang berupa nasi lengkap dengan
lauknya, ada juga berupa bahan sembako. Semua tergantung pada kemampuan si shahibul walimah itu sendiri.

Kamis, 2008 Agustus 28

Benarkah Tahlil dari Tradisi Hindu? 

Jakarta, NU Online
Selama ini terdapat keyakinan bahwa tradisi tahlilan bagi orang yang sudah meninggal yang dilakukan pada hari-hari tertentu seperti 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari sampai dengan haul yang diadakan untuk memperingati setiap tanggal kematian merupakan tradisi Hindu atau Budha yang kemudian substansinya dirubah oleh para wali songo dengan mengisi bacaan dan doa dari tradisi Islam, termasuk bacaan tahlil sehingga akhirnya disebut tahlil

Pendapat berbeda diungkapkan oleh Agus Sunyoto, penulis buku Syeikh Siti Jenar tersebut berpendapat bahwa tradisi tahlil sebenarnya merupakan tradisi Syiah yang kemudian dibawa oleh para musyafir yang menyebarkan Islam di Indonesia.

”Dalam tradisi Hindu, tidak ada peringatan 7 hari sampai dengan 1000 hari. Yang ada peringatan 12 tahun sekali,” tandasnya saat berdiskusi di kantor NU Online Selasa malam dengan sejumlah budayawan dan aktivis Lembaga Seni dan Budaya Nahdlatul Ulama (Lesbumi).

Pertanyaan tersebut muncul dalam dirinya ketika diajak salah satu temannya yang beraliran Syiah untuk tahlil diajak tahlil. ”Lho ini tradisinya kok sama dengan NU,” fikirnya dalam hati. Selanjutnya ia melakukan penelitian tentang asal usul tradisi ini.

Para musyafir yang berasal dari kerajaan Campa yang kebanyakan beragama Islam dan memiliki tradisi tasawuf beraliran Syiah lah yang mengembangkan tradisi ini. Makanya tak heran ketika Imam Khumeini meninggal, juga diadakan tahlil untuk mendoakannya.

Tradisi lain yang berasal dari Syiah adalah adanya bulan baik atau buruk untuk mengadakan suatu acara. ”Orang Jawa dha berani mengadakan hajatan pada bulan Muharram atau lebih dikenal dengan bulan Suro karena bisa membawa sial. Ini merupakan tradisi Syiah karena pada bulan tersebut Sayyidina Husein, anak Ali bin Abi Tholib meninggal dibunuh,” tuturnya.

Tentang mengapa wali yang disebut berjumlah sembilan atau lebih dikenal sebagai wali songo, padahal wali sebenarnya lebih dari itu, Agus berpendapat ini berkaitan dengan adopsi kepercayaan Hindu yang berkeyakinan adanya delapan arah mata angin dan satu dipusatnya sehingga jumlahnya menjadi sembilan.(mkf)

Dalil tahlil
Tahlilan/Kenduri Arwah, Mana dalilnya?

Acara tahlilan, biasanya berisikan acara pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an, dzikir(Tasbih, tahmid, takbir, tahlil, istighfar, dll), Sholawat dan lain sebagainya yg bertujuan supaya amalan tsb, selain untuk yang membacanya juga bisa bermanfaan bagi si mayit.
Berikut kami sampaikan beberapa dalil yang menerangkan sampainya amalan tsb (karena keterbatasan ruang & waktu maka kami sampaikan sementara dalil yg dianggap urgen saja, Insya Alloh akan disambung karena masih ada beberapa dalil hadits & pendapat ulama terutama ulama yang sering dijadikan sandaran sodara kita yg tidak menyetujui adanya acara tahlilan diantaranya pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah, Imam Ibnul Qoyyim, Imam As-Saukani dll..
DALIL SAMPAINYA AMALIYAH BAGI MAYIT
1. Dalil Alqur’an: 
Artinya:” Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdo’a :” Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudar-saudar kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami” (QS Al Hasyr: 10) 
Dalam ayat ini Allah SWT menyanjung orang-orang yang beriman karena mereka memohonkan ampun (istighfar) untuk orang-orang beriman sebelum mereka. Ini menunjukkan bahwa orang yang telah meninggal dapat manfaat dari istighfar orang yang masih hidup. 
2. Dalil Hadits 
a. Dalam hadits banyak disebutkan do’a tentang shalat jenazah, do’a setelah mayyit dikubur dan do’a ziarah kubur. 
Tentang do’a shalat jenazah antara lain, Rasulullah SAW bersabda: 
Artinya:” Dari Auf bin Malik ia berkata: Saya telah mendengar Rasulullah SAW – setelah selesai shalat jenazah-bersabda:” Ya Allah ampunilah dosanya, sayangilah dia, maafkanlah dia, sehatkanlah dia, muliakanlah tempat tinggalnya, luaskanlah kuburannya, mandikanlah dia dengan air es dan air embun, bersihkanlah dari segala kesalahan sebagaimana kain putih bersih dari kotoran, gantikanlah untuknya tempat tinggal yang lebih baik dari tempat tinggalnya, keluarga yang lebih baik dari keluarganya, pasangan yang lebih baik dari pasangannya dan peliharalah dia dari siksa kubur dan siksa neraka” (HR Muslim). 
Tentang do’a setelah mayyit dikuburkan, Rasulullah SAW bersabda: 
Artinya: Dari Ustman bin ‘Affan ra berkata:” Adalah Nabi SAW apabila selesai menguburkan mayyit beliau beridiri lalu bersabda:” mohonkan ampun untuk saudaramu dan mintalah keteguhan hati untuknya, karena sekarang dia sedang ditanya” (HR Abu Dawud) 
Sedangkan tentang do’a ziarah kubur antara lain diriwayatkan oleh ‘Aisyah ra bahwa ia bertanya kepada Nabi SAW: 
Artinya:” bagaimana pendapatmu kalau saya memohonkan ampun untuk ahli kubur ? Rasul SAW menjawab, “Ucapkan: (salam sejahtera semoga dilimpahkan kepada ahli kubur baik mu’min maupun muslim dan semoga Allah memberikan rahmat kepada generasi pendahulu dan generasi mendatang dan sesungguhnya –insya Allah- kami pasti menyusul) (HR Muslim).
b. Dalam Hadits tentang sampainya pahala shadaqah kepada mayyit 
Artinya: Dari Abdullah bin Abbas ra bahwa Saad bin Ubadah ibunya meninggal dunia ketika ia tidak ada ditempat, lalu ia datang kepada Nabi SAW unntuk bertanya:” Wahai Rasulullah SAW sesungguhnya ibuku telah meninggal sedang saya tidak ada di tempat, apakah jika saya bersedekah untuknya bermanfaat baginya ? Rasul SAW menjawab: Ya, Saad berkata:” saksikanlah bahwa kebunku yang banyak buahnya aku sedekahkan untuknya” (HR Bukhari). 
c. Dalil Hadits Tentang Sampainya Pahala Saum 
Artinya: Dari ‘Aisyah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda:” Barang siapa yang meninggal dengan mempunyai kewajiban shaum (puasa) maka keluarganya berpuasa untuknya”(HR Bukhari dan Muslim)
d. Dalil Hadits Tentang Sampainya Pahala Haji 
Artinya:Dari Ibnu Abbas ra bahwa seorang wanita dari Juhainnah datang kepada Nabi SAW dan bertanya:” Sesungguhnya ibuku nadzar untuk hajji, namun belum terlaksana sampai ia meninggal, apakah saya melakukah haji untuknya ? rasul menjawab: Ya, bagaimana pendapatmu kalau ibumu mempunyai hutang, apakah kamu membayarnya ? bayarlah hutang Allah, karena hutang Allah lebih berhak untuk dibayar (HR Bukhari) 
3. Dalil Ijma’ 
a. Para ulama sepakat bahwa do’a dalam shalat jenazah bermanfaat bagi mayyit. 
b. Bebasnya utang mayyit yang ditanggung oleh orang lain sekalipun bukan keluarga. Ini berdasarkan hadits Abu Qotadah dimana ia telah menjamin untuk membayar hutang seorang mayyit sebanyak dua dinar. Ketika ia telah membayarnya nabi SAW bersabda: 
Artinya:” Sekarang engkau telah mendinginkan kulitnya” (HR Ahmad) 
4. Dalil Qiyas 
Pahala itu adalah hak orang yang beramal. Jika ia menghadiahkan kepada saudaranya yang muslim, maka hal itu tidak ada halangan sebagaimana tidak dilarang menghadiahkan harta untuk orang lain di waktu hidupnya dan membebaskan utang setelah wafatnya. 
Islam telah memberikan penjelasan sampainya pahala ibadah badaniyah seperti membaca Alqur’an dan lainnya diqiyaskan dengan sampainya puasa, karena puasa adalah menahan diri dari yang membatalkan disertai niat, dan itu pahalanya bisa sampai kepada mayyit. Jika demikian bagaimana tidak sampai pahala membaca Alqur’an yang berupa perbuatan dan niat.
Adapun dalil yang menerangkan shadaqah untuk mayit pada hari-hari tertentu seperti hari ke satu, dua sampai dengan ke tujuh bahkan ke-40 yaitu hadits marfu’ mursal dari tiga orang tabi`ien yaitu Thaus, Ubaid bin Umair dan Mujahid yang dapat dijadikan qaid kepada hadits-hadits mutlak (tidak ada qaid hari-hari untuk bershadaqah untuk mayit) di atas:
a. Riwayat Thaus :
Bahwa orang-orang mati itu akan dilakukan fitnah di dalam quburan mereka tujuh hari. Maka adalah mereka itu menganjurkanuntuk memberi shadaqah makanan atas nama mereka selama hari-hari itu.
b. Sebagai tambahan dari riwayat Ubaid bin Umair:
Dilakukan fitnah qubur terhadap dua golongan orang yaitu orang mukmin dan orang munafiq. Adapun terhadap orang mukmin dilakukan tujuh hari dan terhadap orang munafiq dilakukan 40 hari.
c. Ada lagi tambahan dalam riwayat Mujahid yaitu 
Ruh-ruh itu berada diatas pekuburan selamatujuh hari, sejak dikuburkan tidak memisahinya.
Kemudian dalam beberapa hadits lain menyatakan bahwa kedua malaikat Munkar dan Nakir itu mengulangi pertanyaan-pertanyaan tiga kali dalam satu waktu. Lebih jelas dalam soal ini dapat dibaca dalam buku “Thulu’ ats-tsuraiya di izhaari makana khafiya” susunan al Imam Suyuty dalam kitab “ Al-Hawi lil fatawiy” jilid II.
Bidah
Fasal tentang Bid'ah (2)
01/03/2007 

Jelek dan sesat paralel tidak bertentangan, hal ini terjadi pula dalam Al-Qur’an, Allah SWT telah membuang sifat kapal dalam firman-Nya :
وَكَانَوَرَاءَهُمْمَلِكٌيَأْخُذُكُلَّسَفِيْنَةٍغَصْبَا (الكهف: 79)
Di belakang mereka ada raja yang akan merampas semua kapal dengan paksa”. (Al-Kahfi : 79).

Dalam ayat tersebut Allah SWT tidak menyebutkan kapal baik apakah kapal jelek; karena yang jelek tidak akan diambil oleh raja. Maka lafadh كلسفينة sama dengan كلبدعة tidak disebutkan sifatnya, walaupun pasti punya sifat, ialah kapal yang baikكلسفينةحسنة.
Selain itu, ada pendapat lain tentang bid’ah dari Syaikh Zaruq, seperti dikutip Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari. Menurutnya, ada tiga norma untuk menentukan, apakah perkara baru dalam urusan agama itu disebut bid’ah atau tidak: Pertama, jika perkara baru itu didukung oleh sebagian besar syari’at dan sumbernya, maka perkara tersebut bukan merupakan bid’ah, akan tetapi jika tidak didukung sama sekali dari segala sudut, maka perkara tersebut batil dan sesat. 
Kedua, diukur dengan kaidah-kaidah yang digunakan para imam dan generasi salaf yang telah mempraktikkan ajaran sunnah. Jika perkara baru tersebut bertentangan dengan perbuatan para ulama, maka dikategorikan sebagai bid’ah. Jika para ulama masih berselisih pendapat mengenai mana yang dianggap ajaran ushul (inti) dan mana yang furu’ (cabang), maka harus dikembalikan pada ajaran ushul dan dalil yang mendukungnya.
Ketiga, setiap perbuatan ditakar dengan timbangan hukum. Adapun rincian hukum dalam syara’ ada enam, yakni wajib, sunah, haram, makruh, khilaful aula, dan mubah. Setiap hal yang termasuk dalam salah satu hukum itu, berarti bias diidentifikasi dengan status hukum tersebut. Tetapi, jika tidak demikian, maka hal itu bisa dianggap bid’ah.
Syeikh Zaruq membagi bid’ah dalam tiga macam; pertama, bid’ah Sharihah (yang jelas dan terang). Yaitu bid’ah yang dipastikan tidak memiliki dasar syar’i, seperti wajib, sunnah, makruh atau yang lainnya. Menjalankan bid’ah ini berarti mematikan tradisi dan menghancurkan kebenaran. Jenis bid’ah ini merupakan bid’ah paling jelek. Meski bid’ah ini memiliki seribu sandaran dari hukum-hukum asal ataupun furu’, tetapi tetap tidak ada pengaruhnya. Kedua, bid’ah idlafiyah (relasional), yakni bid’ah yang disandarkan pada suatu praktik tertentu. Seandainya-pun, praktik itu telah terbebas dari unsur bid’ah tersebut, maka tidak boleh memperdebatkan apakah praktik tersebut digolongkan sebagai sunnah atau bukan bid’ah.
Ketiga, bid’ah khilafi (bid’ah yang diperselisihkan), yaitu bid’ah yang memiliki dua sandaran utama yang sama-sama kuat argumentasinya. Maksudnya, dari satu sandaran utama tersebut, bagi yang cenderung mengatakan itu termasuk sunnah, maka bukan bid’ah. Tetapi, bagi yang melihat dengan sandaran utama itu termasuk bid’ah, maka berarti tidak termasuk sunnah, seperti soal dzikir berjama’ah atau soal administrasi.
Hukum bid’ah menurut Ibnu Abd Salam, seperti dinukil Hadratusy Syeikh dalam kitab Risalah Ahlussunnah Waljama’ah, ada lima macam: pertama, bid’ah yang hukumnya wajib, yakni melaksanakan sesuatu yang tidak pernah dipraktekkan Rasulullah SAW, misalnya mempelajari ilmu Nahwu atau mengkaji kata-kata asing (garib) yang bisa membantu pada pemahaman syari’ah. 
Kedua, bid’ah yang hukumnya haram, seperti aliran Qadariyah, Jabariyyah dan Mujassimah. Ketiga, bid’ah yang hukumnya sunnah, seperti membangun pemondokan, madrasah (sekolah), dan semua hal baik yang tidak pernah ada pada periode awal. Keempat, bid’ah yang hukumnya makruh, seperti menghiasi masjid secara berlebihan atau menyobek-nyobek mushaf. Kelima, bid’ah yang hukumnya mubah, seperti berjabat tangan seusai shalat Shubuh maupun Ashar, menggunakan tempat makan dan minum yang berukuran lebar, menggunakan ukuran baju yang longgar, dan hal yang serupa.
Dengan penjelasan bid’ah seperti di atas, Hadratusy Syeikh kemudian menyatakan, bahwa memakai tasbih, melafazhkan niat shalat, tahlilan untuk mayyit dengan syarat tidak ada sesuatu yang menghalanginya, ziarah kubur, dan semacamnya, itu semua bukanlah bid’ah yang sesat. Adapun praktek-praktek, seperti pungutan di pasar-pasar malam, main dadu dan lain-lainnya merupakan bid’ah yang tidak baik.
--(KH. A.N. Nuril Huda, Ketua Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) dalam "Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja) Menjawab", diterbitkan oleh PP LDNU)





Sumber Referensi : 
http://www.indowebster.web.id


sekarang telah hadir Let Us Study Versi Mobile untuk Study Holic 

0 komentar:

Posting Komentar